Masyarakat dan Kebudayaan "Suku Dayak"
Suku Dayak adalah suku asli Kalimantan yang hidup berkelompok yang tinggal di pedalaman, di gunung, dan sebagainya. Kata Dayak itu sendiri sebenarnya diberikan oleh orang-orang Melayu yang datang ke Kalimantan. Orang-orang Dayak sendiri sebenarnya keberatan memakai nama Dayak, sebab lebih diartikan agak negatif. Padahal, semboyan orang Dayak adalah “Menteng Ueh Mamut”, yang berarti seseorang yang memiliki kekuatan gagah berani, serta tidak kenal menyerah atau pantang mundur.
Sejarah Suku dayak ada tahun (1977-1978) saat itu, benua Asia dan pulau Kalimantan yang merupakan bagian nusantara yang masih menyatu, yang memungkinkan ras mongoloid dari asia mengembara melalui daratan dan sampai di Kalimantan dengan melintasi pegunungan yang sekarang disebut pegunungan “Muller-Schwaner”. Suku Dayak merupakan penduduk Kalimantan yang sejati. Namun setelah orang-orang Melayu dari Sumatra dan Semenanjung Malaka datang, mereka makin lama makin mundur ke dalam.
Belum lagi kedatangan orang-orang Bugis, Makasar, dan Jawa pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit. Suku Dayak hidup terpencar-pencar di seluruh wilayah Kalimantan dalam rentang waktu yang lama, mereka harus menyebar menelusuri sungai-sungai hingga ke hilir dan kemudian mendiami pesisir pulau Kalimantan. Suku ini terdiri atas beberapa suku yang masing-masing memiliki sifat dan perilaku berbeda.
Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak, sering disebut ”Nansarunai Usak Jawa”, yakni sebuah kerajaan Dayak Nansarunai yang hancur oleh Majapahit, yang diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389 (Fridolin Ukur,1971). Kejadian tersebut mengakibatkan suku Dayak terdesak dan terpencar, sebagian masuk daerah pedalaman. Arus besar berikutnya terjadi pada saat pengaruh Islam yang berasala dari kerajaan Demak bersama masuknya para pedagang Melayu (sekitar tahun 1608).
Sebagian besar suku Dayak memeluk Islam dan tidak lagi mengakui dirinya sebagai orang Dayak, tapi menyebut dirinya sebagai orang Melayu atau orang Banjar. Sedangkan orang Dayak yang menolak agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman di Kalimantan Tengah, bermukim di daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari, Watang Amandit, Labuan Lawas dan Watang Balangan. Sebagain lagi terus terdesak masuk rimba. Orang Dayak pemeluk Islam kebanyakan berada di Kalimantan Selatan dan sebagian Kotawaringin, salah seorang Sultan Kesultanan Banjar yang terkenal adalah Lambung Mangkurat sebenarnya adalah seorang Dayak (Ma’anyan atau Ot Danum),Tidak hanya dari nusantara, bangsa-bangsa lain juga berdatangan ke Kalimantan. Bangsa Tionghoa diperkirakan mulai datang ke Kalimantan pada masa Dinasti Ming tahun 1368-1643. Dari manuskrip berhuruf kanji disebutkan bahwa kota yang pertama di kunjungi adalah Banjarmasin. Tetapi masih belum jelas apakah bangsa Tionghoa datang pada era Bajarmasin (dibawah hegemoni Majapahit) atau di era Islam.
Kedatangan bangsa Tionghoa tidak mengakibatkan perpindahan penduduk Dayak dan tidak memiliki pengaruh langsung karena langsung karena mereka hanya berdagang, terutama dengan kerajaan Banjar di Banjarmasin. Mereka tidak langsung berniaga dengan orang Dayak. Peninggalan bangsa Tionghoa masih disimpan oleh sebagian suku Dayak seperti piring malawen, belanga (guci) dan peralatan keramik.
Sejak awal abad V bangsa Tionghoa telah sampai di Kalimantan. Pada abad XV Raja Yung Lo mengirim sebuah angkatan perang besar ke selatan (termasuk Nusantara) di bawah pimpinan Chang Ho, dan kembali ke Tiongkok pada tahun 1407, setelah sebelumnya singgah ke Jawa, Kalimantan, Malaka, Manila dan Solok. Pada tahun 1750, Sultan Mempawah menerima orang-orang Tionghoa (dari Brunei) yang sedang mencari emas. Orang-orang Tionghoa tersebut membawa juga barang dagangan diantaranya candu, sutera, barang pecah belah seperti piring, cangkir, mangkok dan guci (Sarwoto kertodipoero,1963)
Dibawah ini ada beberapa adat istiadat bagi suku dayak yang masih terpelihara hingga kini, dan dunia supranatural Suku Dayak pada zaman dahulu maupun zaman sekarang yang masih kuat sampai sekarang. Adat istiadat ini merupakan salah satu kekayaan budaya yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia, karena pada awal mulanya Suku Dayak berasal dari pedalaman Kalimantan.
Upacara Tiwah
Upacara Tiwah merupakan acara adat suku Dayak. Tiwah merupakan upacara yang dilaksanakan untuk pengantaran tulang orang yang sudah meninggal ke Sandung yang sudah di buat. Sandung adalah tempat yang semacam rumah kecil yang memang dibuat khusus untuk mereka yang sudah meninggal dunia.
Upacara Tiwah bagi Suku Dayak sangatlah sakral, pada acara Tiwah ini sebelum tulang-tulang orang yang sudah mati tersebut di antar dan diletakkan ke tempatnya (sandung), banyak sekali acara-acara ritual, tarian, suara gong maupun hiburan lain. Sampai akhirnya tulang-tulang tersebut di letakkan di tempatnya (Sandung).
Dunia Supranatural bagi Suku Dayak memang sudah sejak jaman dulu merupakan ciri khas kebudayaan Dayak. Karena supranatural ini pula orang luar negeri sana menyebut Dayak sebagai pemakan manusia ( kanibal ). Namun pada kenyataannya Suku Dayak adalah suku yang sangat cinta damai asal mereka tidak di ganggu dan ditindas semena-mena. Kekuatan supranatural Dayak Kalimantan banyak jenisnya, contohnya Manajah Antang. Manajah Antang merupakan cara suku Dayak untuk mencari petunjuk seperti mencari keberadaan musuh yang sulit di temukan dari arwah para leluhur dengan media burung Antang, dimanapun musuh yang di cari pasti akan ditemukan Mangkok merah.
Mangkok merah merupakan media persatuan Suku Dayak. Mangkok merah beredar jika orang Dayak merasa kedaulatan mereka dalam bahaya besar. “Panglima” atau sering suku Dayak sebut Pangkalima biasanya mengeluarkan isyarat siaga atau perang berupa mangkok merah yang di edarkan dari kampung ke kampung secara cepat sekali. Dari penampilan sehari-hari banyak orang tidak tahu siapa panglima Dayak itu. Orangnya biasa-biasa saja, hanya saja ia mempunyai kekuatan supranatural yang luar biasa. Percaya atau tidak panglima itu mempunyai ilmu bisa terbang kebal dari apa saja seperti peluru, senjata tajam dan sebagainya.
Mangkok merah tidak sembarangan diedarkan. Sebelum diedarkan sang panglima harus membuat acara adat untuk mengetahui kapan waktu yang tepat untuk memulai perang. Dalam acara adat itu roh para leluhur akan merasuki dalam tubuh pangkalima lalu jika pangkalima tersebut ber “Tariu” ( memanggil roh leluhur untuk untuk meminta bantuan dan menyatakan perang ) maka orang-orang Dayak yang mendengarnya juga akan mempunyai kekuatan seperti panglimanya. Biasanya orang yang jiwanya labil bisa sakit atau gila bila mendengar tariu.
Orang-orang yang sudah dirasuki roh para leluhur akan menjadi manusia dan bukan. Sehingga biasanya darah, hati korban yang dibunuh akan dimakan. Jika tidak dalam suasana perang tidak pernah orang Dayak makan manusia. Kepala dipenggal, dikuliti dan di simpan untuk keperluan upacara adat. Meminum darah dan memakan hati itu, maka kekuatan magis akan bertambah. Makin banyak musuh dibunuh maka orang tersebut makin sakti.
Mangkok merah terbuat dari teras bambu (ada yang mengatakan terbuat dari tanah liat) yang didesain dalam bentuk bundar segera dibuat. Untuk menyertai mangkok ini disediakan juga perlengkapan lainnya seperti ubi jerangau merah (acorus calamus) yang melambangkan keberanian (ada yang mengatakan bisa diganti dengan beras kuning), bulu ayam merah untuk terbang, lampu obor dari bambu untuk suluh (ada yang mengatakan bisa diganti dengan sebatang korek api), daun rumbia (metroxylon sagus) untuk tempat berteduh dan tali simpul dari kulit kepuak sebagai lambang persatuan. Perlengkapan tadi dikemas dalam mangkok dari bambu itu dan dibungkus dengan kain merah.
Kepercaan suku dayak
Menurut cerita turun-temurun mangkok merah pertama beredar ketika perang melawan Jepang dulu. Lalu terjadi lagi ketika pengusiran orang Tionghoa dari daerah-daerah Dayak pada tahun 1967. pengusiran Dayak terhadap orang Tionghoa bukannya perang antar etnis tetapi lebih banyak muatan politisnya. Sebab saat itu Indonesia sedang konfrontasi dengan Malaysia.
Menurut kepercayaan Dayak, terutama yang dipedalaman Kalimantan yang disampaikan dari mulut ke mulut, dari nenek kepada bapak, dari bapak kepada anak, hingga saat ini yang tidak tertulis mengakibatkan menjadi lebih atau kurang dari yang sebenar-benarnya, bahwa asal-usul nenek moyang suku Dayak itu diturunkan dari langit yang ke tujuh ke dunia ini dengan “Palangka Bulau” ( Palangka artinya suci, bersih, merupakan ancak, sebagai tandu yang suci, gandar yang suci dari emas diturunkan dari langit, sering juga disebutkan “Ancak atau Kalangkang” ).
Seni Tari Suku-suku dayak
1. Tari Gantar
Tarian yang menggambarkan gerakan orang menanam padi. Tongkat menggambarkan kayu penumbuk sedangkan bambu serta biji-bijian didalamnya menggambarkan benih padi dan wadahnya.
Tarian ini cukup terkenal dan sering disajikan dalam penyambutan tamu dan acara-acara lainnya.Tari ini tidak hanya dikenal oleh suku Dayak Tunjung namun juga dikenal oleh suku Dayak Benuaq. Tarian ini dapat dibagi dalam tiga versi yaitu tari Gantar Rayatn, Gantar Busai dan Gantar Senak/Gantar Kusak.
2. Tari Kancet Papatai / Tari Perang
Tarian ini menceritakan tentang seorang pahlawan Dayak Kenyah berperang melawan musuhnya. Gerakan tarian ini sangat lincah, gesit, penuh semangat dan kadang-kadang diikuti oleh pekikan si penari.
Dalam tari Kancet Pepatay, penari mempergunakan pakaian tradisionil suku Dayak Kenyah dilengkapi dengan peralatan perang seperti mandau, perisai dan baju perang. Tari ini diiringi dengan lagu Sak Paku dan hanya menggunakan alat musik Sampe.
3. Tari Kancet Ledo / Tari Gong
Jika Tari Kancet Pepatay menggambarkan kejantanan dan keperkasaan pria Dayak Kenyah, sebaliknya Tari Kancet Ledo menggambarkan kelemahlembutan seorang gadis bagai sebatang padi yang meliuk-liuk lembut ditiup oleh angin.
Tari ini dibawakan oleh seorang wanita dengan memakai pakaian tradisionil suku Dayak Kenyah dan pada kedua tangannya memegang rangkaian bulu-bulu ekor burung Enggang. Biasanya tari ini ditarikan diatas sebuah gong, sehingga Kancet Ledo disebut juga Tari Gong.
4. Tari Kancet Lasan
Menggambarkan kehidupan sehari-hari burung Enggang, burung yang dimuliakan oleh suku Dayak Kenyah karena dianggap sebagai tanda keagungan dan kepahlawanan. Tari Kancet Lasan merupakan tarian tunggal wanita suku Dayak Kenyah yang sama gerak dan posisinya seperti Tari Kancet Ledo, namun si penari tidak mempergunakan gong dan bulu-bulu burung Enggang dan juga si penari banyak mempergunakan posisi merendah dan berjongkok atau duduk dengan lutut menyentuh lantai. Tarian ini lebih ditekankan pada gerak-gerak burung Enggang ketika terbang melayang dan hinggap bertengger di dahan pohon.
5.Tari Leleng
Tarian ini menceritakan seorang gadis bernama Utan Along yang akan dikawinkan secara paksa oleh orangtuanya dengan pemuda yang tak dicintainya. Utan Along akhirnya melarikan diri kedalam hutan. Tarian gadis suku Dayak Kenyah ini ditarikan dengan diiringi nyanyian
6. Tari Hudoq
Tarian ini dilakukan dengan menggunakan topeng kayu yang menyerupai binatang buas serta menggunakan daun pisang atau daun kelapa sebagai penutup tubuh penari. Tarian ini erat hubungannya dengan upacara keagamaan dari kelompok suku Dayak Bahau dan Modang. Tari Hudoq dimaksudkan untuk memperoleh kekuatan dalam mengatasi gangguan hama perusak tanaman dan mengharapkan diberikan kesuburan dengan hasil panen yang banyak.
7. Tari Hudoq Kita'
Tarian dari suku Dayak Kenyah ini pada prinsipnya sama dengan Tari Hudoq dari suku Dayak Bahau dan Modang, yakni untuk upacara menyambut tahun tanam maupun untuk menyampaikan rasa terima kasih pada dewa yang telah memberikan hasil panen yang baik. Perbedaan yang mencolok anatara Tari Hudoq Kita' dan Tari Hudoq ada pada kostum, topeng, gerakan tarinya dan iringan musiknya. Kostum penari Hudoq Kita' menggunakan baju lengan panjang dari kain biasa dan memakai kain sarung, sedangkan topengnya berbentuk wajah manusia biasa yang banyak dihiasi dengan ukiran khas Dayak Kenyah. Ada dua jenis topeng dalam tari Hudoq Kita', yakni yang terbuat dari kayu dan yang berupa cadar terbuat dari manik-manik dengan ornamen Dayak Kenyah.
8. Tari Serumpai
Tarian suku Dayak Benuaq ini dilakukan untuk menolak wabah penyakit dan mengobati orang yang digigit anjing gila. Disebut tarian Serumpai karena tarian diiringi alat musik Serumpai (sejenis seruling bambu).
9. Tari Belian Bawo
Upacara Belian Bawo bertujuan untuk menolak penyakit, mengobati orang sakit, membayar nazar dan lain sebagainya. Setelah diubah menjadi tarian, tari ini sering disajikan pada acara-acara penerima tamu dan acara kesenian lainnya. Tarian ini merupakan tarian suku Dayak Benuaq.
10. Tari Kuyang
Sebuah tarian Belian dari suku Dayak Benuaq untuk mengusir hantu-hantu yang menjaga pohon-pohon yang besar dan tinggi agar tidak mengganggu manusia atau orang yang menebang pohon tersebut.
11. Tari Pecuk Kina
Tarian ini menggambarkan perpindahan suku Dayak Kenyah yang berpindah dari daerah Apo Kayan (Kab. Bulungan) ke daerah Long Segar (Kab. Kutai Barat) yang memakan waktu bertahun-tahun.
12. Tari Datun
Tarian ini merupakan tarian bersama gadis suku Dayak Kenyah dengan jumlah tak pasti, boleh 10 hingga 20 orang. Menurut riwayatnya, tari bersama ini diciptakan oleh seorang kepala suku Dayak Kenyah di Apo Kayan yang bernama Nyik Selung, sebagai tanda syukur dan kegembiraan atas kelahiran seorang cucunya. Kemudian tari ini berkembang ke segenap daerah suku Dayak Kenyah.
13. Tari Ngerangkau
Tari Ngerangkau adalah tarian adat dalam hal kematian dari suku Dayak Tunjung dan Benuaq. Tarian ini mempergunakan alat-alat penumbuk padi yang dibentur-benturkan secara teratur dalam posisi mendatar sehingga menimbulkan irama tertentu.
14. Tari Baraga' Bagantar
Awalnya Baraga' Bagantar adalah upacara belian untuk merawat bayi dengan memohon bantuan dari Nayun Gantar. Sekarang upacara ini sudah digubah menjadi sebuah tarian oleh suku Dayak Benua
Senjata Khusus utama suku dayak
Sipet / Sumpitan
Merupakan senjata utama suku dayak. Bentuknya bulat dan berdiameter 2-3 cm, panjang 1,5 – 2,5 meter, ditengah-tengahnya berlubang dengan diameter lubang ¼ – ¾ cm yang digunakan untuk memasukan anak sumpitan (Damek). Ujung atas ada tombak yang terbuat dari batu gunung yang diikat dengan rotan dan telah di anyam. Anak sumpit disebut damek, dan telep adalah tempat anak sumpitan.
Lonjo / Tombak
Dibuat dari besi dan dipasang atau diikat dengan anyaman rotan dan bertangkai dari bambu atau kayu keras.
Telawang / Perisai
Terbuat dari kayu ringan, tetapi liat. Ukuran panjang 1 – 2 meter dengan lebar 30 – 50 cm. Sebelah luar diberi ukiran atau lukisan dan mempunyai makna tertentu. Disebelah dalam dijumpai tempat pegangan.
Mandau
Merupakan senjata utama dan merupakan senjata turun temurun yang dianggap keramat. Bentuknya panjang dan selalu ada tanda ukiran baik dalam bentuk tatahan maupun hanya ukiran biasa. Mandau dibuat dari batu gunung, ditatah, diukir dengan emas/perak/tembaga dan dihiasi dengan bulu burung atau rambut manusia. Mandau mempunyai nama asli yang disebut “Mandau Ambang Birang Bitang Pono Ajun Kajau”, merupakan barang yang mempunyai nilai religius, karena dirawat dengan baik oleh pemiliknya.
Batu-batuan yang sering dipakai sebagai bahan dasar pembuatan Mandau dimasa yang telah lalu yaitu: Batu Sanaman Mantikei, Batu Mujat atau batu Tengger, Batu Montalat.Mandau adalah senjata tajam sejenis parang berasal dari kebudayaan Dayak di Kalimantan. Mandau termasuk salah satu senjata tradisional Indonesia. Berbeda dengan parang, mandau memiliki ukiran – ukiran di bagian bilahnya yang tidak tajam. Sering juga dijumpai tambahan lubang-lubang di bilahnya yang ditutup dengan kuningan atau tembaga dengan maksud memperindah bilah mandau.
Kumpang
Kumpang adalah sarung bilah mandau. Kumpang terbuat dari kayu dan lazimnya dihias dengan ukiran. Pada kumpang terikat pula semacam kantong yang terbuat dari kulit kayu berisi pisau penyerut dan kayu gading yang diyakini dapat menolak binatang buas. Mandau yang tersarungkan dalam kumpang biasanya diikatkan di pinggang dengan jalinan rotan. Menurut literatur di Museum Balanga, Palangkaraya, bahan baku mandau adalah besi (sanaman) mantikei yang terdapat di hulu Sungai Matikei, Desa Tumbang Atei, Kecamatan Sanaman Matikei, Katingan. Besi ini bersifat lentur sehingga mudah dibengkokan. Mandau asli harganya dimulai dari Rp. 1 juta rupiah. Mandau asli yang berusia tua dan memiliki besi yang kuat bisa mencapai harga Rp. 20 juta rupiah per bilah.
Bahan baku pembuatan mandau biasa dapat juga menggunakan besi per mobil, bilah gergaji mesin, cakram kendaraan dan besi batang lain. Piranti kerja yang digunakan terutama adalah palu, betel, dan sebasang besi runcing guna melubangi mandau untuk hiasan. Juga digunakan penghembus udara bertenaga listrik untuk membarakan nyala limbah kayu ulin yang dipakainya untuk memanasi besi. Kayu ulin dipilih karena mampu menghasilkan panas lebih tinggi dibandingkan kayu lainnya. Mandau untuk cideramata biasanya bergagang kayu, harganya berkisar Rp. 50.000 hingga Rp. 300.000 tergantung dari besi yang digunakan.
Mandau asli mempunnyai penyang, penyang adalah kumpulan-kumpulan ilmu suku dayak yang didapat dari hasil bertapa atau petunjuk lelulur yang digunakan untuk berperang. Penyang akan membuat orang yang memegang mandau sakti, kuat dan kebal dalam menghadapi musuh. mandau dan penyang adalah merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan turun temurun dari leluhur.
Dohong
Senjata ini semacam keris tetapi lebih besar dan tajam sebelah menyebelah. Hulunya terbuat dari tanduk dan sarungnya dari kayu. Senjata ini hanya boleh dipakai oleh kepala-kepala suku, Demang, Basir.
Tentang suku dayak
Senin, 22 April 2013
Jumat, 19 April 2013
Asal usul kayau Di kalimantan
Asal usul kata ngayau umumnya terdapat kesepakatan di kalangan suku Dayak. Namun, kapan ngayau dimulai dan bagaimanakah sejarahnya, agaknya masih simpang siur dan sering muncul dalam berbagai versi.
Hal itu disebabkan belum ada studi dan catatan sejarah mengenai asal mula ngayau secara detail dan kronologis. Hanya ada catatan mengenai kesepakatan bersama seluruh etnis Dayak Borneo untuk mengakhirinya. Ini terjadi pada pada 22 Mei - 24 Juli 1894, ketika diadakan Musyawarah Besar Tumbang Anoi di Desa Huron Anoi Kahayan Ulu Kalimantan Tengah.
Benar adanya bahwa sebelum perjanjian Tumbang Anoi disepakati, terjadi praktik headhunting bahkan di kalangan sesama Dayak. Praktik ngayau antarsesama Dayak ini sukar dibantah dan memang demikianlah adanya. Dayak Jangkang misalnya, dahulu kala bermusuhan dengan Dayak Ribunt. Padahal, keduanya tidak berjauhan tempat tinggal.
Apakah faktor yang menyebabkan pengayauan antarDayak ini terjadi?
Saling mengayau di antara sesama Dayak, sejatinya bukanlah semata-mata mencari kepala musuh sebagai tanda bukti kekuatan dan kebanggaan sebagaimana selama ini dipersepsikan banyak orang. Alasan ini terlampau sederhana! Lebih dari itu, dilatari juga oleh nafsu balas dendam dan sebagai cara mempertahankan diri: menyerang lebih dulu sebelum diserang. Ini mirip dengan pepatah Latin si vis pacem, para bellum (jika Anda menginginkan damai, siap sedialah untuk perang).
Masuknya agama Katolik di tengah-tengah etnis Dayak, terutama dengan datangnya misi Katolik ke pulau Borneo di pengujung abad 18, membawa pengaruh baik. Perlahan-lahan ajaran Katolik tentang balas dendam (mata ganti mata, gigi ganti gigi) merasuk dalam hidup orang Dayak.
Ajaran Kristen yang radikal untuk tidak balas dendam dengan hukum “mata ganti mata, tulang ganti tulang” segera merasuk etnis Dayak. Ajaran cinta kasih ini menyadarkan masyarakat Dayak untuk segera menghentikan tradisi mengayau ini. Musyawarah ini dihadiri para kepala adat se-Kalimantan yang berkumpul dan bersepakat untuk menghentikan pengayauan antarsesama Dayak. Namun, pertemuan yang berbuah kesepakatan Tumbang Anoi sendiri diprakarsai pemerintah Hindia Belanda.
Ngayau berasal dari kata kayau yang berarti “musuh”. J.U. Lontaan, op.cit. hal. 532. Selanjutnya, untuk mendukung pendapatnya, Lontaan mengutip Alfred Russel Wallage dalam The Malay Archhipelago, 1896: 68, “… headhunting is a custom originating in the petty wars of village with village and tribe with tribe….”
Terdapat berbagai versi etimologi ngayau. Sebagai contoh, Fridolin Ukur dalam buku Tantang Jawab Suku Daya menyebut bahwa ngayau mencari kepala musuh. Sedangkan bagi Dayak Lamandau dan Delang di Kalimantan Tengah, mengayau berasal dari kata “kayau” atau “kayo’; yang artinya mencari. Mengayau berarti men¬cari kepala musuh. Jadi, mengayau ialah suatu perbuatan dan tindak-budaya mencari kepala musuh.
Bai Dayak Jangkang, ngayau juga disebut ngayo. Berasal dari kata “yao” yang berarti: bayang-bayang, mengahantui, meniadakan, atau memburu kepala musuh sebagai prasyarat atau pesta gawai. Ada gawai khusus untuk merayakan kepala musuh dengan tarian perang, yakni gawai naja bak (pesta kepala).
Namun, serta merta perlu diberikan catatan pada apa yang disebutkan perbuatan dan tindak-budaya ini. Kedengarannya aneh di telinga untuk saat ini. Namun, jika menyelami keyakinan etnis Dayak lebih mendalam maka kita akan segera menjadi mafhum di balik tradisi mengayau ini.
Ngayau tidak terlepas dari keyakinan komunitas Dayak sebagai sebuah entitas. Hal ini dapat ditelusuri dari cerita lisan dan tradisi yang diturunkan dari mulut ke mulut. Menurut keyakinan yang dipegang teguh, orang Dayak yakin mereka adalah keturunan makhluk langit. Ketika turun ke dunia ini, menjadi makhluk yang paling mulia dan, karena itu, menjadi penguasa bumi.
Keyakinan ini, pada gilirannya, membawa konsekuensi orang Dayak lalu memandang rendah entis lain. Jika menganggu dan mengancam keberadaan dan kelangsungan hidup mereka, etnis lain dapat disingkirkan. Namun, harus ada alasan yang kuat untuk itu. Darah hewan, apalagi manusia, tabu untuk ditumpahkan. Jika sampai terjadi, mereka akan menuntut balas.
Prinsip bahwa mata ganti mata, gigi ganti gigi benar-benar diterapkan. Meski mengalami penyempurnaan dan penyesuaian, sisa-sisa praktik ini “mata ganti mata, gigi ganti gigi” ini masih diteruskan di Jangkang hingga hari ini.
Pasal-pasal hukum adat Kecamatan Jangkang masih terasa kental nuansa penuntutan atas pertumpahan darah ini. Terbukti dari diaturnya secara detail pasal-pasal yang menetapkan pengadilan atas perkara dari mulai yang terkecil kasus pertumpahan darah hingga mengakibatkan kematian, yang dalam bahasa Dayak Jangkang disebut dengan “Adat Pati Nyawa”.
Satuan untuk menghitung ganti atas pertumpahan darah unik, disebut dengan tael. Di masa lampau, menghilangkan nyawa manusia baik sengaja (misalnya tertembak waktu berburu) maupun secara sengaja maka si pelaku akan mengalami kesulitan membayarnya. Seisi keluarga dan sanak saudara akan turut terlibat membantu. Bahkan, bukan tidak mungkin sampai seumur hidup pelaku menunaikan kewajibannya membayar Adat Pati Nyawa.
Apakah Adat Pati Nyawa? Secara harfiah, pati berarti sari atau inti. Kata “pati” kerap muncul dalam bahasa Dayak dengan inisial dan pembagian Djo (lihat Ethnologue: Languages of the World, Fifteenth edition, Dallas, “Djongkang: A language of Indonesia” (Kalimantan) ISO 639-3: djo
Jadi, pati nyawa adalah pengganti nyawa yang hilang. Tentu saja, hukum pati nyawa ini tidak berlaku dalam ngayau. Dan hanya berlaku dalam keadaan normal saja, sebab pekik ngayau haruslah datang dari aump dan merupakan hasil dari permufakatan bersama.
Demikianlah, ngayau pun harus disertai alasan-alasan yang kuat dan masuk akal bagi komunitas Dayak dan harus melalui hasil mufakat bersama. Disebut komunitas, karena suatu kampung biasanya menempati sebuah batang atau rumah panjang. Sebelum melancarkan pengayauan, malam harinya diadakan musyawarah bersama yang dalam bahasa Dayak Jangkang disebut boraump. Semua peserta wajib memberikan pendapat dan penilaian. Keputusan diambil dengan berpangkal tolak pada suara dan pendapat mayoritas.
Patut diberi catatan tambahan bahwa ngayau di kalangan suku Dayak umumnya, dan Dayak Djongkang khususnya, bukan sekadar memanggal kepala musuh. Ada filosofi yang melatarinya. Banyak kandungan hikmah, meski sekilas tampak sadis, di balik itu semua.
Orang luar yang kurang memahami secara mendalam filosofi dan latar di balik tradisi ngayau, sehingga menarik simpulan entimema: orang Dayak biadab, sadis, pemburu kepala manusia, dan headhunting. Tentang labeling bahwa Dayak adalah pemburu kepala manusia ini, Wikimedia bahkan mencatatnya sebagai “budaya” yang semestinya harus serta merta diberikan catatan bahwa itu adalah gambaran Dayak masa lampau. Perjanjian Tumbang Anoi yang difasilitasi Pemerintah Kolonial Belanda menghapuskan budaya ngayau ini. Di beberapa subsuku memang masih berlangsung, namun di Kalbar tradisi mengayau sudah berakhir pada sekitar sejak tahun 1938.
Toh demikian, Wikipedia yang tidak tahu sejarahnya masih mencatat demikian, “Headhunting was an important part of Dayak culture, in particular to the Iban and Kenyah. There used to be a tradition of retaliation for old headhunts, which kept the practise alive. External interference by the reign of the Brooke Rajahs in Sarawak and the Dutch in Kalimantan Borneo curtailed and limited this tradition. Apart from massed raids, the practice of headhunting was limited to individual retaliation attacks or the result of chance encounters. Early Brooke Government reports describe Dayak Iban and Kenyah War parties with captured enemy heads. At various times, there have been massive coordinated raids in the interior, and throughout coastal Borneo, directed by the Raj during Brooke's reign in Sarawak. This may have given rise to the term, Sea Dayak, although, throughout the 19th Century, Sarawak Government raids and independent expeditions appeared to have been carried out as far as Brunei, Mindanao, East coast Malaya, Jawa and Celebes. Tandem diplomatic relations between the Sarawak Government (Brooke Rajah) and Britain (East India Company and the Royal Navy) acted as a pivot and a deterrence to the former's territorial ambitions, against the Dutch administration in the Kalimantan regions and client Sultanates.”
Tidak mengherankan, dalam literatur dan laporan-laporan tertulis pada zaman kolonial, Dayak dicap sebagai suku asli Borneo yang tidak berkeadaban. Meski para peneliti dan ahli antropologi tidak memasukkan Dayak sebagai suku terakhir di Nusantara yang mempraktikkan headhunting, toh stereotipe sebagai pengayau masih melekat kuat minimal hingga kerusuhan etnis terjadi di Sambas pada 19 Januari 1999 di Desa Parit Setia, Kecamatan Jawai, Sambas dan kemudian merambat ke Sampit pada 18 Februari 2001.
Banyak orang melihat pertalian kejadian itu, meski sebenarnya berbeda dalam hal casus belli dan eskalasi. Akan tetapi, satu yang sama: solidaritas di kalangan etnis Dayak tumbuh menghadapi bahaya dari luar. Dalam konteks mempertahankan diri dan melakukan tindakan menyerang lebih dulu sebelum diserang ini, dapat dipahami latar dan filosofi ngayau.
Minggu, 14 April 2013
SUKU DAYAK OT DANUM
Suku Dayak Ot Danum, hidup tersebar di pegunungan Muller-Schwaner, sungai Mandai di Ulu Ai' dan di sepanjang aliran sungai Miri, cabang sungai Kahayan di provinsi Kalimantan Tengah. Populasi diperkirakan sebesar 78.800 orang pada tahun 2007.
Kata ot berarti "orang" atau "hulu", sedangkan danum berarti "air", dan Ot Danum berarti "orang air" atau "orang yang hidup di hulu sungai". Suku Dayak Ot Danum dekat dengan kehidupan alam dan sangat menghormati tradisi leluhur untuk menjaga keseimbangan manusia dan alam sekitarnya. Perawakan suku Dayak Ot Danum berkulit kuning menunjukkan bahwa mereka adalah ras mongoloid. Suku Dayak Ot Danum ini memiliki kerabat dekat di provinsi Kalimantan Barat yang disebut suku Dayak Uud Danum. Secara fisik, karakter dan budaya bisa dikatakan mirip, hanya saja dibedakan karena perbedaan letak geografis. Suku Dayak Ot Danum ini dikelompokkan ke dalam rumpun Proto Malayan cabang dari rumpun bangsa Austronesia.
Suku Dayak Ot Danum memiliki bahasa sendiri yang disebut sebagai bahasa Ot Danum. Bahasa Ot Danum berkerabat dengan bahasa Dayak Siang yang memiliki kesamaan sebesar 70%, dengan bahasa Dayak Kohin memiliki kemiripan sebesar 65%, dengan bahasa Dayak Katingan kemiripan sebesar 60%, sedangkan dengan bahasa Dayak Ngaju memiliki kemiripan sebesar 50%.
Masyarakat suku Dayak Ot Danum adalah mayoritas beragama Kristen, sebagian tetap mempertahankan agama Kaharingan dan sebagian kecil memeluk agama Islam.
Dalam legenda suku Dayak Ot Danum, nenek moyang mereka berasal dari langit yang diturunkan ke dunia dengan wadah emas di 4 tempat, salah satunya di puncak bukit Pamatuan, suatu dataran tinggi antara hulu sungai Kahayan dan sungai Barito. Lambung adalah manusia nenek moyang pertama yang diciptakan, dari si Lambung inilah semua keturunannya menyebar di perhuluan sungai-sungai besar seperti sungai Barito, sungai Kahayan, sungai Kapuas dan sungai Katingan yang disebut suku Dayak Ot Danum.
Beberapa penulis memiliki versi yang berbeda mengenai asal usul suku Dayak Ot Danum ini, ada yang mengatakan bahwa suku Dayak Ot Danum ini berasal dari daratan mongolia, yang bermigrasi ke pulau Borneo. Tetapi versi lain menyebutkan bahwa suku Dayak Ot Danum ini berasal dari Formosa dan sudah sejak ada di pulau Kalimantan sejak 4000 tahun yang lalu, karena di Formosa Taiwan terdapat budaya yang mirip dengan suku Dayak Ot Danum ini.
Dalam kesehariannya suku Dayak Ot Danum ini sebagian besar masih dekat dengan kehidupan alam di hutan, dan melakukan perburuan binatang liar, serta bertani berladang juga mereka lakukan dan memelihara ternak seperti ayam dan babi. Kegiatan lain seperti ikut dalam penambangan emas di sungai-sungai yang mengandung emas, sehingga banyak dari mereka yang menjadi kaya di pedalaman dari hasil menambang emas. Selain itu tidak sedikit yang telah bekerja di luar wilayah mereka, seperti di Palangkaraya, Kuala Kapuas, Muara Teweh dan lain-lain sebagai pekerja di sektor pemerintahan maupun di sektor swasta.
Kata ot berarti "orang" atau "hulu", sedangkan danum berarti "air", dan Ot Danum berarti "orang air" atau "orang yang hidup di hulu sungai". Suku Dayak Ot Danum dekat dengan kehidupan alam dan sangat menghormati tradisi leluhur untuk menjaga keseimbangan manusia dan alam sekitarnya. Perawakan suku Dayak Ot Danum berkulit kuning menunjukkan bahwa mereka adalah ras mongoloid. Suku Dayak Ot Danum ini memiliki kerabat dekat di provinsi Kalimantan Barat yang disebut suku Dayak Uud Danum. Secara fisik, karakter dan budaya bisa dikatakan mirip, hanya saja dibedakan karena perbedaan letak geografis. Suku Dayak Ot Danum ini dikelompokkan ke dalam rumpun Proto Malayan cabang dari rumpun bangsa Austronesia.
Suku Dayak Ot Danum memiliki bahasa sendiri yang disebut sebagai bahasa Ot Danum. Bahasa Ot Danum berkerabat dengan bahasa Dayak Siang yang memiliki kesamaan sebesar 70%, dengan bahasa Dayak Kohin memiliki kemiripan sebesar 65%, dengan bahasa Dayak Katingan kemiripan sebesar 60%, sedangkan dengan bahasa Dayak Ngaju memiliki kemiripan sebesar 50%.
Masyarakat suku Dayak Ot Danum adalah mayoritas beragama Kristen, sebagian tetap mempertahankan agama Kaharingan dan sebagian kecil memeluk agama Islam.
Dalam legenda suku Dayak Ot Danum, nenek moyang mereka berasal dari langit yang diturunkan ke dunia dengan wadah emas di 4 tempat, salah satunya di puncak bukit Pamatuan, suatu dataran tinggi antara hulu sungai Kahayan dan sungai Barito. Lambung adalah manusia nenek moyang pertama yang diciptakan, dari si Lambung inilah semua keturunannya menyebar di perhuluan sungai-sungai besar seperti sungai Barito, sungai Kahayan, sungai Kapuas dan sungai Katingan yang disebut suku Dayak Ot Danum.
Beberapa penulis memiliki versi yang berbeda mengenai asal usul suku Dayak Ot Danum ini, ada yang mengatakan bahwa suku Dayak Ot Danum ini berasal dari daratan mongolia, yang bermigrasi ke pulau Borneo. Tetapi versi lain menyebutkan bahwa suku Dayak Ot Danum ini berasal dari Formosa dan sudah sejak ada di pulau Kalimantan sejak 4000 tahun yang lalu, karena di Formosa Taiwan terdapat budaya yang mirip dengan suku Dayak Ot Danum ini.
Dalam kesehariannya suku Dayak Ot Danum ini sebagian besar masih dekat dengan kehidupan alam di hutan, dan melakukan perburuan binatang liar, serta bertani berladang juga mereka lakukan dan memelihara ternak seperti ayam dan babi. Kegiatan lain seperti ikut dalam penambangan emas di sungai-sungai yang mengandung emas, sehingga banyak dari mereka yang menjadi kaya di pedalaman dari hasil menambang emas. Selain itu tidak sedikit yang telah bekerja di luar wilayah mereka, seperti di Palangkaraya, Kuala Kapuas, Muara Teweh dan lain-lain sebagai pekerja di sektor pemerintahan maupun di sektor swasta.
“TETEK TATUM”: LANGKAH AWAL PENAPAKAN HISTORISITAS MANUSIA DAYAK NGAJU ("It turned TATUM": STEP EARLY HUMAN Siting historicity Ngaju Dayak)
tradisional, ungkapan-ungkapan dan dongeng-dongeng tradisional (bdk. Riwut 1993; dan Riwut 2004).
Ketiadaan literatur suku Dayak Ngaju dalam upaya menapaki jejak-jejak sejarah kearifan leluhur di masa lalu, bukanlah suatu alasan untuk menyebut bahwa leluhur suku ini memiliki derajat kebudayaan yang rendah (inferior). Satu-satunya rujukan tradisional yang dimiliki hanya “Tetek Tatum” yang terbangun secara “antara nyata dan tiada” sebuah bangunan imajiner; in illo tempore, ab origine sebagai struktur antara kenyataan yang dimitoskan atau mitos yang berusaha dan “seolah-olah” dinyatakan (bandingkan Eliade 1991). “Tetek Tatum” merupakan bangunan kronologis sejarah yang mengetengahkan proses panjang manusia Dayak, di mana mulai dikenalnya konsep-konsep tentang akulturasi, konsep-konsep yang runtun memandang masuknya pengaruh eksternal yang muncul. “Tetek Tatum” atau disebut sebagai “Periode Ratapan” atau “Ratap Tangis Sejati” (Riwut 1993:75), “Zaman Ratap Tangis” (lihat pula Ugang, 1983), merupakan masa-masa krisis yang dialami manusia Dayak. Pada masa itu, berbagai bentuk upaya “invasi-antithesis” muncul. Aneka bentuk penderitaan berkepanjangan mendera. Hingga muncul pula upaya defensif atas situasi tersebut dengan hadirnya pahlawan-pahlawan gagah berani seperti Rambang, Ringkai, Tambun, Bungai dan lain-lain. Ugang menyebutnya sebagai awal pertemuan kebudayaan Dayak Ngaju dengan kebudayaan luar seperti Hindu-Buddha, Kong Hu Cu, Islam dan Kristen. Berhubung pertemuan itu berlangsung sejak berpuluh-puluh abad lamanya. Maka tidaklah mudah untuk menyimpulkan bahwa kebudayaan Dayak Ngaju itu telah berubah atau dipengaruhi oleh kebudayaan dari luar itu. Namun, yang pasti pertemuan kebudayaan tersebut telah membentuk semacam kebudayaan (baca: kepercayaan-pen) baru dengan tatanan yang saling melengkapi yang dikenal dengan Kaharingan sekarang (1983:4).
Jauh sebelum dikenalnya tuturan tentang “Tetek Tatum”, masyarakat Dayak Ngaju sudah mengenal periodisasi masa yang melingkupi kehidupan mereka dari waktu ke waktu. Ada tiga istilah yang dikemukakan Ugang di dalam struktur kehidupan yang disebut “lewu” atau negeri, “Lewun Sangiang”, “Lewun Sansana”, dan “Lewun Tetek Tatum” (1983:2). Mengapa ada tiga “lewu” dalam konsep tersebut? Pertama, ada tiga konsep yang mempunyai benang merah dengan alam dalam pandangan teologis Kristen bahwa “lewun Sangiang” merupakan representasi dari sebuah satuan imajiner tentang sebuah bangunan transedental “surga”, di mana yang hidup di sana adalah para dewa dalam perspektif Kaharingan: Maharaja Sangiang, Maharaja Sangen dan Maharaja Bunu. Kedua, ketiga fase tersebut menunjukkan bahwa ketiga “lewu” yang menjadi semacam “lansekap imajiner” manusia Dayak Ngaju menyiratkan adanya tiga periodisasi zaman yang sama sekali berbeda berdasarkan “konstruksi” dunia yang melatarinya: “zaman Sangiang” dan “zaman Sansana” sebagai penggemaan prototipe mitis in illo tempore itu, dan zaman “Tetek Tatum”. Ketiga, bahwa langkah awal pijakan “manusia baru”, manusia Dayak berada pada periodisasi zaman yang ketiga, yaitu “Tetek Tatum”, yang di dalamnya menggambarkan pertemuan manusia Dayak dengan aneka kebudayaan yang datang dari luar. Konsep kedua zaman sebelum “Tetek Tatum” merupakan konsep yang sangat sulit untuk dicocokkan dengan periodisasi waktu karena hingga kini tidak ditemukan fakta yang mendasari itu. Tetapi yang jelas adalah “zaman Tetek Tatum” berawal sebelum abad ke-17.
Konteks demikian lebih tajam dinyatakan Eliade sebagai cara untuk memahami eksistensi dan sejarah manusia dalam cakrawala ontologis dan spiritualitas kuno bahwa koleksi fakta terbagi menjadi, 1) fakta yang ditujukan kepada kita, bagi manusia kuno, realitas itu merupakan fungsi imitasi atas arketipe surga (langit); 2) fakta yang ditunjukkan kepada kita bagaimana realitas itu dianugerahkan melalui partisipasi dalam “simbolisme Pusat”: kota, kuil, rumah,menjadi nyata karena fakta tentang keberadaannya diasimilasikan dengan “pusat dunia”; 3) Akhirnya, ritual dan isyarat profan yang penting dihubungkan dengan mereka dan mematerialisasikan makna tersebut hanya karena mereka diulang secara sengaja dengan tindakan sebagaimana adanya yang diberikan oleh para dewa, pahlawan atau leluhur (1991:5—6).
Mengapa zaman “Tetek Tatum” diangkat sebagai arketipe Dayak secara historis, tentu alasan pertama seperti yang diungkapkan sebelumnya bahwa tiada langkah yang paling faktual untuk melacak sejarah itu berkaitan dengan tidak ditemui tradisi tulis pada masyarakat Dayak. Kedua, kalau demikian adanya, mengapa pula suatu kebudayaan yang berderajat rendah/inferior mampu melahirkan begitu banyak karya sastra lisan, termasuk puisi-puisi etnik di dalam kebudayaannya? Eliade menyatakan bahwa dalam perilaku sadarnya yang khas, manusia “primitif” kuno tidak menerima tindakan yang sebelumnya tidak dilakukan atau dihidupi orang lain, sesuatu yang lain yang bukan manusia. Apapun yang dia lakukan telah dilakukan sebelumnya. Hidupnya merupakan pengulangan-pengulangan atas sikap yang diawali oleh orang lain (1991:5).
Jawaban yang penting untuk pertanyaan di atas bermuara pada upaya-upaya eskavasi muatan kronologis yang terdapat dalam karya-karya sastra tersebut. Kita akan terperangah ketika mendengarkan “Sansana Bandar” atau Riwayat Bandar, Tambun, Bungai dan seterusnya. Kita sebagai manusia Dayak post-modern hanya memandang filosofi karya sastra tersebut sebagai fosil-fosil yang usang—namun keberadaannya ternyata mampu menjadi napas bagi konstelasi zaman setelahnya. Riwut mengklasifikasi paling tidak terdapat 20-an jenis karya sastra lisan lainnya. Sebagian besar belum ditransliterasi dan ditranskripsikan. Sangat disayangkan, apabila kearifan lokal dan keagungan sastra lisan Dayak itu menjadi dokumen “illiterate” yang punah ditelan zaman.
language inggriss
Traditionally, expressions and traditional tales (cf. Riwut 1993; and Riwut 2004).
The absence of literature in an attempt Dayak Ngaju treading traces the history of the ancestral wisdom of the past, not a reason to mention that the ancestors of these tribes have a low degree of culture (inferior). The only traditional referral owned only "Tatum turned out" the awakened "between real and not" an imaginary building; in illo tempore, ab origine as mythic structure between reality or myth to try and "as if" expressed (compare Eliade 1991). "It turned Tatum" is a chronological history of the building that explores the long process of the Dayak people, where began a familiar concepts of acculturation, concepts Runtun see the influence of the external appear. "It turned Tatum" or referred to as the "Period of Mourning" or "Wailing True Tears" (Riwut 1993:75), "The Age of Wailing Tears" (see also Ugang, 1983), is a time of crisis experienced by the Dayak people. At that time, many of the efforts of "invasion-antithesis" appears. Any kind of prolonged suffering whack. Up came the defensive effort of the situation with the presence of valiant heroes like Rambang, arid, Tambun, Bungai and others. Ugang refer to it as the beginning of Dayak culture Ngaju meetings with outside cultures such as Hindu-Buddhism, Confucianism, Islam and Christianity. Since the meeting was going on since decades centuries. Thus it is easy to conclude that the Dayak culture Ngaju it has been changed or influenced by the culture from the outside. However, the meeting of cultures definitely have formed a kind of culture (read: confidence-pen) with a new order known as complementary Kaharingan now (1983:4).
Long before a familiar speech about "Tatum turned out", the Dayaks are familiar periodization Ngaju period surrounding their lives from time to time. There are three terms in the structure of the proposed Ugang life called "Lewu" or the country, "Lewun Sangiang", "Lewun Sansana", and "Lewun Tetek Tatum" (1983:2). Why there are three "Lewu" in the concept? First, there are three concepts that have a common thread with nature in the Christian theological view that "lewun Sangiang" is a representation of an imaginary unit of a building transcendental "paradise", where there is a life of the gods in perspective Kaharingan: Maharaja Sangiang, Sangen and Maharaja Maharaja Bunu. Second, it shows that the third phase of the three "Lewu" which became a kind of "imaginary landscapes" Dayak man Ngaju periodization implies the existence of three different age entirely based on "construction" the underlying world: "Sangiang age" and "age Sansana" as a prototype penggemaan the mythic in illo tempore, and age "Tatum turned out". Third, that the first step footing "new man", Dayak man is at the time of the third periods, namely "Tatum turned out", in which described the meeting with the various cultures of the Dayak people who come from outside. The second concept of time before "Tetek Tatum" is a concept that is very difficult to reconcile with the periodicity of time because until now not found the facts underlying it. But what is clear is the "age Tetek Tatum" originated before the 17th century.
Thus the context otherwise sharper Eliade as a way to understand the history of human existence and the ontological horizon and ancient spirituality fact that the collection is divided into, 1) facts addressed to us, the ancient humans, the reality of it is a function of the archetype imitation of heaven (sky); 2) the fact that the reality presented to us how it was awarded through participation in the "symbolism of the center": cities, temples, houses, became apparent due to the fact of its existence assimilated with the "center of the world"; 3) Finally, ritual and profane are important cues associated with and the meanings they materialize only because they deliberately repeated the act as it is given by the gods, heroes or ancestors (1991:5-6).
Why were the "Tetek Tatum" was appointed as the archetype Dayak historically, of course the first reason as stated earlier that there is no factual measures to track the history associated with it are not found written in the tradition of the Dayak community. Second, if so, why should a low degree of culture / inferior able to bring so many works of oral literature, including poetry in the ethnic culture? Eliade states that in a typical conscious behavior, human "primitive" ancient not accept actions which previously was not done or lived someone else, something else that is not human. Whatever he does has been done before. Her life is a repetition of the attitude that begins by others (1991:5).
Important answer to the above question boils down excavation efforts chronological charge contained in the literary works. We will be amazed when listening to "Sansana Bandar" or Bandar History, Tambun, Bungai and so on. We as human beings post-modern Dayak just looked philosophical literature such as fossils obsolete-but its presence was able to breath for days afterwards constellation. Riwut classify at least there 20s other types of oral literature. Most have not been transliterated and transcribed. It is unfortunate, if the local wisdom and majesty of the Dayak oral literature to document "Illiterate" everlasting extinct.
Ketiadaan literatur suku Dayak Ngaju dalam upaya menapaki jejak-jejak sejarah kearifan leluhur di masa lalu, bukanlah suatu alasan untuk menyebut bahwa leluhur suku ini memiliki derajat kebudayaan yang rendah (inferior). Satu-satunya rujukan tradisional yang dimiliki hanya “Tetek Tatum” yang terbangun secara “antara nyata dan tiada” sebuah bangunan imajiner; in illo tempore, ab origine sebagai struktur antara kenyataan yang dimitoskan atau mitos yang berusaha dan “seolah-olah” dinyatakan (bandingkan Eliade 1991). “Tetek Tatum” merupakan bangunan kronologis sejarah yang mengetengahkan proses panjang manusia Dayak, di mana mulai dikenalnya konsep-konsep tentang akulturasi, konsep-konsep yang runtun memandang masuknya pengaruh eksternal yang muncul. “Tetek Tatum” atau disebut sebagai “Periode Ratapan” atau “Ratap Tangis Sejati” (Riwut 1993:75), “Zaman Ratap Tangis” (lihat pula Ugang, 1983), merupakan masa-masa krisis yang dialami manusia Dayak. Pada masa itu, berbagai bentuk upaya “invasi-antithesis” muncul. Aneka bentuk penderitaan berkepanjangan mendera. Hingga muncul pula upaya defensif atas situasi tersebut dengan hadirnya pahlawan-pahlawan gagah berani seperti Rambang, Ringkai, Tambun, Bungai dan lain-lain. Ugang menyebutnya sebagai awal pertemuan kebudayaan Dayak Ngaju dengan kebudayaan luar seperti Hindu-Buddha, Kong Hu Cu, Islam dan Kristen. Berhubung pertemuan itu berlangsung sejak berpuluh-puluh abad lamanya. Maka tidaklah mudah untuk menyimpulkan bahwa kebudayaan Dayak Ngaju itu telah berubah atau dipengaruhi oleh kebudayaan dari luar itu. Namun, yang pasti pertemuan kebudayaan tersebut telah membentuk semacam kebudayaan (baca: kepercayaan-pen) baru dengan tatanan yang saling melengkapi yang dikenal dengan Kaharingan sekarang (1983:4).
Jauh sebelum dikenalnya tuturan tentang “Tetek Tatum”, masyarakat Dayak Ngaju sudah mengenal periodisasi masa yang melingkupi kehidupan mereka dari waktu ke waktu. Ada tiga istilah yang dikemukakan Ugang di dalam struktur kehidupan yang disebut “lewu” atau negeri, “Lewun Sangiang”, “Lewun Sansana”, dan “Lewun Tetek Tatum” (1983:2). Mengapa ada tiga “lewu” dalam konsep tersebut? Pertama, ada tiga konsep yang mempunyai benang merah dengan alam dalam pandangan teologis Kristen bahwa “lewun Sangiang” merupakan representasi dari sebuah satuan imajiner tentang sebuah bangunan transedental “surga”, di mana yang hidup di sana adalah para dewa dalam perspektif Kaharingan: Maharaja Sangiang, Maharaja Sangen dan Maharaja Bunu. Kedua, ketiga fase tersebut menunjukkan bahwa ketiga “lewu” yang menjadi semacam “lansekap imajiner” manusia Dayak Ngaju menyiratkan adanya tiga periodisasi zaman yang sama sekali berbeda berdasarkan “konstruksi” dunia yang melatarinya: “zaman Sangiang” dan “zaman Sansana” sebagai penggemaan prototipe mitis in illo tempore itu, dan zaman “Tetek Tatum”. Ketiga, bahwa langkah awal pijakan “manusia baru”, manusia Dayak berada pada periodisasi zaman yang ketiga, yaitu “Tetek Tatum”, yang di dalamnya menggambarkan pertemuan manusia Dayak dengan aneka kebudayaan yang datang dari luar. Konsep kedua zaman sebelum “Tetek Tatum” merupakan konsep yang sangat sulit untuk dicocokkan dengan periodisasi waktu karena hingga kini tidak ditemukan fakta yang mendasari itu. Tetapi yang jelas adalah “zaman Tetek Tatum” berawal sebelum abad ke-17.
Konteks demikian lebih tajam dinyatakan Eliade sebagai cara untuk memahami eksistensi dan sejarah manusia dalam cakrawala ontologis dan spiritualitas kuno bahwa koleksi fakta terbagi menjadi, 1) fakta yang ditujukan kepada kita, bagi manusia kuno, realitas itu merupakan fungsi imitasi atas arketipe surga (langit); 2) fakta yang ditunjukkan kepada kita bagaimana realitas itu dianugerahkan melalui partisipasi dalam “simbolisme Pusat”: kota, kuil, rumah,menjadi nyata karena fakta tentang keberadaannya diasimilasikan dengan “pusat dunia”; 3) Akhirnya, ritual dan isyarat profan yang penting dihubungkan dengan mereka dan mematerialisasikan makna tersebut hanya karena mereka diulang secara sengaja dengan tindakan sebagaimana adanya yang diberikan oleh para dewa, pahlawan atau leluhur (1991:5—6).
Mengapa zaman “Tetek Tatum” diangkat sebagai arketipe Dayak secara historis, tentu alasan pertama seperti yang diungkapkan sebelumnya bahwa tiada langkah yang paling faktual untuk melacak sejarah itu berkaitan dengan tidak ditemui tradisi tulis pada masyarakat Dayak. Kedua, kalau demikian adanya, mengapa pula suatu kebudayaan yang berderajat rendah/inferior mampu melahirkan begitu banyak karya sastra lisan, termasuk puisi-puisi etnik di dalam kebudayaannya? Eliade menyatakan bahwa dalam perilaku sadarnya yang khas, manusia “primitif” kuno tidak menerima tindakan yang sebelumnya tidak dilakukan atau dihidupi orang lain, sesuatu yang lain yang bukan manusia. Apapun yang dia lakukan telah dilakukan sebelumnya. Hidupnya merupakan pengulangan-pengulangan atas sikap yang diawali oleh orang lain (1991:5).
Jawaban yang penting untuk pertanyaan di atas bermuara pada upaya-upaya eskavasi muatan kronologis yang terdapat dalam karya-karya sastra tersebut. Kita akan terperangah ketika mendengarkan “Sansana Bandar” atau Riwayat Bandar, Tambun, Bungai dan seterusnya. Kita sebagai manusia Dayak post-modern hanya memandang filosofi karya sastra tersebut sebagai fosil-fosil yang usang—namun keberadaannya ternyata mampu menjadi napas bagi konstelasi zaman setelahnya. Riwut mengklasifikasi paling tidak terdapat 20-an jenis karya sastra lisan lainnya. Sebagian besar belum ditransliterasi dan ditranskripsikan. Sangat disayangkan, apabila kearifan lokal dan keagungan sastra lisan Dayak itu menjadi dokumen “illiterate” yang punah ditelan zaman.
language inggriss
Traditionally, expressions and traditional tales (cf. Riwut 1993; and Riwut 2004).
The absence of literature in an attempt Dayak Ngaju treading traces the history of the ancestral wisdom of the past, not a reason to mention that the ancestors of these tribes have a low degree of culture (inferior). The only traditional referral owned only "Tatum turned out" the awakened "between real and not" an imaginary building; in illo tempore, ab origine as mythic structure between reality or myth to try and "as if" expressed (compare Eliade 1991). "It turned Tatum" is a chronological history of the building that explores the long process of the Dayak people, where began a familiar concepts of acculturation, concepts Runtun see the influence of the external appear. "It turned Tatum" or referred to as the "Period of Mourning" or "Wailing True Tears" (Riwut 1993:75), "The Age of Wailing Tears" (see also Ugang, 1983), is a time of crisis experienced by the Dayak people. At that time, many of the efforts of "invasion-antithesis" appears. Any kind of prolonged suffering whack. Up came the defensive effort of the situation with the presence of valiant heroes like Rambang, arid, Tambun, Bungai and others. Ugang refer to it as the beginning of Dayak culture Ngaju meetings with outside cultures such as Hindu-Buddhism, Confucianism, Islam and Christianity. Since the meeting was going on since decades centuries. Thus it is easy to conclude that the Dayak culture Ngaju it has been changed or influenced by the culture from the outside. However, the meeting of cultures definitely have formed a kind of culture (read: confidence-pen) with a new order known as complementary Kaharingan now (1983:4).
Long before a familiar speech about "Tatum turned out", the Dayaks are familiar periodization Ngaju period surrounding their lives from time to time. There are three terms in the structure of the proposed Ugang life called "Lewu" or the country, "Lewun Sangiang", "Lewun Sansana", and "Lewun Tetek Tatum" (1983:2). Why there are three "Lewu" in the concept? First, there are three concepts that have a common thread with nature in the Christian theological view that "lewun Sangiang" is a representation of an imaginary unit of a building transcendental "paradise", where there is a life of the gods in perspective Kaharingan: Maharaja Sangiang, Sangen and Maharaja Maharaja Bunu. Second, it shows that the third phase of the three "Lewu" which became a kind of "imaginary landscapes" Dayak man Ngaju periodization implies the existence of three different age entirely based on "construction" the underlying world: "Sangiang age" and "age Sansana" as a prototype penggemaan the mythic in illo tempore, and age "Tatum turned out". Third, that the first step footing "new man", Dayak man is at the time of the third periods, namely "Tatum turned out", in which described the meeting with the various cultures of the Dayak people who come from outside. The second concept of time before "Tetek Tatum" is a concept that is very difficult to reconcile with the periodicity of time because until now not found the facts underlying it. But what is clear is the "age Tetek Tatum" originated before the 17th century.
Thus the context otherwise sharper Eliade as a way to understand the history of human existence and the ontological horizon and ancient spirituality fact that the collection is divided into, 1) facts addressed to us, the ancient humans, the reality of it is a function of the archetype imitation of heaven (sky); 2) the fact that the reality presented to us how it was awarded through participation in the "symbolism of the center": cities, temples, houses, became apparent due to the fact of its existence assimilated with the "center of the world"; 3) Finally, ritual and profane are important cues associated with and the meanings they materialize only because they deliberately repeated the act as it is given by the gods, heroes or ancestors (1991:5-6).
Why were the "Tetek Tatum" was appointed as the archetype Dayak historically, of course the first reason as stated earlier that there is no factual measures to track the history associated with it are not found written in the tradition of the Dayak community. Second, if so, why should a low degree of culture / inferior able to bring so many works of oral literature, including poetry in the ethnic culture? Eliade states that in a typical conscious behavior, human "primitive" ancient not accept actions which previously was not done or lived someone else, something else that is not human. Whatever he does has been done before. Her life is a repetition of the attitude that begins by others (1991:5).
Important answer to the above question boils down excavation efforts chronological charge contained in the literary works. We will be amazed when listening to "Sansana Bandar" or Bandar History, Tambun, Bungai and so on. We as human beings post-modern Dayak just looked philosophical literature such as fossils obsolete-but its presence was able to breath for days afterwards constellation. Riwut classify at least there 20s other types of oral literature. Most have not been transliterated and transcribed. It is unfortunate, if the local wisdom and majesty of the Dayak oral literature to document "Illiterate" everlasting extinct.
MENGADOPSI DUA KONSEP KESATRIAAN PERANG SUKU DAYAK DALAM PERTAHANAN DAN KEAMANAN NEGARA
MENGADOPSI DUA KONSEP KESATRIAAN PERANG SUKU DAYAK DALAM PERTAHANAN DAN KEAMANAN NEGARA
Ada sebuah tradisi kekesatriaan yang luar biasa. Bisa dijadikan teladan oleh Bangsa Indonesia untuk menghadapi ancaman dan rongrongan dari bangsa lain serta untuk membela Negara. Tradisi ini berasal dari etnis Dayak di Kalimantan.
KONSEP PERTAHANAN PERTAMA ADALAH ADANYA PEMIMPIN YANG DIPERCAYA OLEH MASYARAKATMAMPU MENGAYOMI, MELINDUNGI DAN KHARISMATIK.
Pemimpin yang berjiwa kesatria ini dipercaya sangat sakti yang menghuni gunung di pedalaman Kalimantan, bersinggungan dengan alam gaib. Wujudnya bisa pemimpin spiritual, panglima perang, guru, dan tetua yang diagungkan. Dia disebut Pangkalima oleh orang Dayak pedalaman atau dikenal oleh masyarakat luas sebagai PANGLIMA BURUNG.
Ia telah hidup selama ratusan tahun dan tinggal di pedalaman Kalimantan. Panglima Burung juga bisa berwujud gaib dan bisa berbentuk laki-laki atau perempuan. Bisa jadi dia dulu merupakan tokoh masyarakat Dayak yang telah tiada, namun rohnya dapat diajak berkomunikasi lewat suatu ritual. Hingga cerita yang menyebutkan ia adalah penjelmaan dari Burung Enggang, burung yang dianggap keramat dan suci di Kalimantan.
Selain sakti mandraguna, Panglima Burung juga adalah sosok yang kalem, tenang, penyabar, dan penjaga perdamaian. Dia adalah tipe ideal orang Dayak yang juga ramah dan penyabar, bahkan kadang sedikit pemalu.
Orang Dayak bukan orang yang kejam, ganas, dan beringas. Dalam kehidupan bermasyarakat, orang Dayak bahkan cukup pemalu, tetap menerima para pendatang dengan baik-baik, dan senantiasa menjaga keutuhan warisan nenek moyang baik religi maupun ritual.
Seperti Penglima Burung yang bersabar dan tetap tenang mendiami pedalaman, masyarakat Dayak pun banyak yang mengalah ketika penebang kayu dan penambang emas memasuki daerah mereka. Meskipun tetap kukuh memegang ajaran leluhur, tak pernah ada konflik ketika ada anggota masyarakatnya yang beralih ke agama-agama yang dibawa oleh para pendatang.
Kesederhanaan pun identik dengan sosok Panglima Burung. Walaupun pemimpin, ia tidak bertempat tinggal di istana atau bangunan yang mewah. Ia bersembunyi dan bertapa di gunung dan menyatu dengan alam.
Panglima Burung jarang menampakkan dirinya, karena sifatnya yang tidak suka pamer kekuatan. Begitupun orang Dayak, yang tidak sembarangan masuk ke kota sambil membawa mandau, sumpit, atau panah. Senjata-senjata tersebut pada umumnya digunakan untuk berburu di hutan, dan mandau tidak dilepaskan dari kumpang (sarung) jika tak ada perihal yang penting atau mendesak.
Tidak ada kamus dalam masyarakat dayak agar melanggengkan budaya kekerasan dan keberingasan. Sebab Panglima Burung adalah sosok yang penyabar. Namun saat kesabaran demi kesabaran sudah habis maka dia akan turun gunung dan berubah menjadi seorang dewa syiwa.
Panglima Burung yang akan segera turun gunung dan mengumpulkan pasukannya. Dia pun menggelar sebuah ritual yang dinamakan Mangkok Merah. Ritual yang dilakukan untuk mengumpulkan prajurit Dayak. Tarian-tarian perang bersahut-sahutan, mandau melekat erat di pinggang. Mereka terhipnotis dan siap perang.
Penglima Burung sebagaimana halnya orang Dayak tetap berpegang teguh pada norma dan aturan yang mereka yakini. Antara lain tidak mengotori kesucian tempat ibadah–agama manapun–dengan merusaknya atau membunuh di dalamnya. Karena kekerasan dalam masyarakat Dayak sebenarnya hanyalah untuk MEMBELA DIRI. Pembunuhan JELAS tak boleh dilakukan, tetapi HANYA OPSI UNTUK MEMPERTAHANKAN DIRI.
KONSEP PERTAHANAN KEDUA ADALAH GOTONG ROYONG BAHU MEMBAHU, MERASA SENASIB SEPENANGGUNGAN.
MANGKOK MERAH adalah alat komunikasi mistis yang berfungsi sebagai pembawa pertanda bahwa ada sekelompok masyarakat yang membutuhkan bantuan dari seluruh masyarakat sehingga seluruh masyarakat harus bahu membahu dan bergotong royong memberikan bantuan.
Selain sebagai alat komunikasi, Mangkok Merah juga berfungsi sebagai penghubung dengan roh nenek moyang. Orang Dayak percaya bahwa melalui Mangkok Merah roh para leluhur akan membantu mereka dari serangan pihak luar.
Roh leluhur dalam adat Dayak Kanayatn (sub-etnik mayoritas di Kalbar) disebut Dewa Sakti yang terdiri atas tujuh roh bersaudara. Mereka bernama Bujakng Nyangko Samabue, Kamang Muda Santulangan, Sarukng Sampuro, Sansa Lalu Samarawe, Bujang Gila Palepak, Nyaro Nyantakng Pajamuratn dan Bensei Sampayangan. Tujuh roh leluhur ber saudara ini tinggal di tujuh tempat yang berlainan. Untuk memanggil roh-roh Dewa Sakti ini, hanya Panglima Adat yang berwenang melakukannya.
Sejumlah perangkat harus disiapkan oleh Panglima Adat sebelum upacara pemanggilan roh Dewa Sakti. Mangkok yang terbuat dari teras bambu (ada yang mengatakan terbuat dari tanah liat) yang didesain dalam bentuk bundar segera dibuat. Untuk menyertai mangkok ini disediakan juga perlengkapan lainnya seperti ubi jerangau merah (acorus calamus) yang melambangkan keberanian (ada yang mengatakan bisa diganti dengan beras kuning), bulu ayam merah untuk terbang, lampu obor dari bambu untuk suluh (ada yang mengatakan bisa diganti dengan sebatang korek api), daun rumbia (metroxylon sagus) untuk tempat berteduh dan tali simpul dari kulit kepuak sebagai lambang persatuan. Perlengkapan tadi dikemas dalam mangkok dari bambu itu dan dibungkus dengan kain merah.
Mangkok Merah dibawa Panglima ke panyugu yakni sebuah tempat yang dianggap keramat pada saat matahari terbenam. Di panyugu, Panglima meminta petunjuk roh Dewa Sakti. Roh Dewa Sakti akan menjawab dengan tanda-tada alam yang oleh Panglima akan diterjemahkan apakah Mangkok Merah sudah saatnya atau belum untuk diedarkan.
Jika Panglima turun ke kampung dengan teriakan-teriakan magis tertentu yang diteriakkan dengan suara nyaring, maka Dewa Sakti sudah mengijinkan Mangkok Merah diedarkan. Roh salah satu tujuh bersaudara Dewa Sakti tadi mempengaruhi tubuh sang Panglima dan masyarakat segera merespon. Mereka berkumpul di lapangan memegang mandau, perisai dan senjata lantak dengan kain merah terikat di kepala, siap untuk berperang.
Dalam sekejab, Panglima menularkan roh Dewa Sakti kepada prajurit. Pangarah (kurir) ditunjuk Panglima untuk mengantarkan bungkusan kain merah itu ke kampung lain. Pangarah terbang dan dalam waktu sekejab disertai teriakan ritual sampai di kampung lain.
Panglima kampung tetangga, dengan kekuatan supranaturalnya, akan mengetahui kedatangan pangarah dan menjemputnya bersama masyarakat. Pangarah mengabarkan siapa musuh yang harus dihadapi. Panglima kampung tersebut kemudian menularkan roh Dewa Sakti kepada masyarakat yang telah berkumpul.
Upacara seperti itu terus berlangsung di seluruh wilayah yang bisa dijangkau hingga dianggap cukup untuk menghadapi musuh. Jika perang dianggap selesai upacara pengembalian Roh Dewa Sakti yang disebut Nyaru Semangat akan dilakukan. Dengan sejumlah upacara adat induk roh (induk Tariu) tersebut dikembalikan ke tempat asalnya.
Mangkok Merah di kalangan suku Dayak Kanayatn juga dipercaya menambah kesaktian. Dengan ikat kepala warna merah, orang-orang Dayak yang merasa roh para leluhur itu telah berkarya di dalam tubuhnya bisa mengenali mana lawan dan kawan hanya dengan indra penciumannya.
Dampak beredarnya Mangkok Merah ini memang dasyat. Ribuan orang Dayak, laki-laki dan perempuan yang terkena pengaruh magis Mangkok Merah bergerak di bawah komando panglima perang. Para panglima perang biasanya menggunakan nama-nama alam seperti Panglima Burung, Panglima Halilintar atau Panglima Angin. Panglima perang tertua dan terkenal dari suku Dayak Kanayatn bernama Panglima Burung.
Daya magis Mangkok Merah membuat prajurit Dayak tak mempan dibacok, tahan lapar hingga sebulan dan bisa melesat cepat di dalam hutan. Hampir tiap hari, pasukan ABRI menemukan sekelompok orang Dayak di sebuah tempat yang jaraknya ratusan kilometer dari tempat asal mereka. Dengan sejumlah truk ABRI mengembalikan para prajurit Dayak yang “terdampar” di suatu tempat ke tempat asal mereka.
Mangkok Merah biasanya digunakan jika orang Dayak benar-benar terpaksa. Segala macam akibat yang akan ditimbulkan akan dipertimbangkan masak-masak karena korban jiwa dalam jumlah besar sudah pasti akan berjatuhan.
Tradisi Mangkok Merah pernah digunakan untuk menangkap tokoh komunis yang dipimpin Sofyan tahun 1967, pasukannya berhasil mengenali dan membunuh kaum komunis.
KESIMPULAN
SEBELUM BANGSA INDONESIA MENGANUT SISTEM PERTAHANAN DAN KEAMANAN RAKYAT SEMESTA, TERNYATA TRADISI BUDAYA SUKU BANGSA DAYAK TELAH MENGENALNYA SEJAK RATUSAN TAHUN SILAM. KEARIFAN INI BISA DIJADIKAN TELADAN BANGSA KITA UNTUK MEMBELA NEGARA.
BUDAYA DAYAK MENGAJARKAN AGAR NEGARA KITA TIDAK BOLEH KEHILANGAN SEMANGAT JUANG UNTUK MEMBELA TANAH AIR.
PARA PAHLAWAN KITA YANG TELAH GUGUR TIDAK AKAN SIA-SIA BILA DI DALAM DADA SETIAP WARGA NEGARA MEMILIKI SEMANGAT JUANG UNTUK MEMBANGUN BANGSA INDONESIA AGAR LEBIH BAIK DAN SEJAHTERA.
Ada sebuah tradisi kekesatriaan yang luar biasa. Bisa dijadikan teladan oleh Bangsa Indonesia untuk menghadapi ancaman dan rongrongan dari bangsa lain serta untuk membela Negara. Tradisi ini berasal dari etnis Dayak di Kalimantan.
KONSEP PERTAHANAN PERTAMA ADALAH ADANYA PEMIMPIN YANG DIPERCAYA OLEH MASYARAKATMAMPU MENGAYOMI, MELINDUNGI DAN KHARISMATIK.
Pemimpin yang berjiwa kesatria ini dipercaya sangat sakti yang menghuni gunung di pedalaman Kalimantan, bersinggungan dengan alam gaib. Wujudnya bisa pemimpin spiritual, panglima perang, guru, dan tetua yang diagungkan. Dia disebut Pangkalima oleh orang Dayak pedalaman atau dikenal oleh masyarakat luas sebagai PANGLIMA BURUNG.
Ia telah hidup selama ratusan tahun dan tinggal di pedalaman Kalimantan. Panglima Burung juga bisa berwujud gaib dan bisa berbentuk laki-laki atau perempuan. Bisa jadi dia dulu merupakan tokoh masyarakat Dayak yang telah tiada, namun rohnya dapat diajak berkomunikasi lewat suatu ritual. Hingga cerita yang menyebutkan ia adalah penjelmaan dari Burung Enggang, burung yang dianggap keramat dan suci di Kalimantan.
Selain sakti mandraguna, Panglima Burung juga adalah sosok yang kalem, tenang, penyabar, dan penjaga perdamaian. Dia adalah tipe ideal orang Dayak yang juga ramah dan penyabar, bahkan kadang sedikit pemalu.
Orang Dayak bukan orang yang kejam, ganas, dan beringas. Dalam kehidupan bermasyarakat, orang Dayak bahkan cukup pemalu, tetap menerima para pendatang dengan baik-baik, dan senantiasa menjaga keutuhan warisan nenek moyang baik religi maupun ritual.
Seperti Penglima Burung yang bersabar dan tetap tenang mendiami pedalaman, masyarakat Dayak pun banyak yang mengalah ketika penebang kayu dan penambang emas memasuki daerah mereka. Meskipun tetap kukuh memegang ajaran leluhur, tak pernah ada konflik ketika ada anggota masyarakatnya yang beralih ke agama-agama yang dibawa oleh para pendatang.
Kesederhanaan pun identik dengan sosok Panglima Burung. Walaupun pemimpin, ia tidak bertempat tinggal di istana atau bangunan yang mewah. Ia bersembunyi dan bertapa di gunung dan menyatu dengan alam.
Panglima Burung jarang menampakkan dirinya, karena sifatnya yang tidak suka pamer kekuatan. Begitupun orang Dayak, yang tidak sembarangan masuk ke kota sambil membawa mandau, sumpit, atau panah. Senjata-senjata tersebut pada umumnya digunakan untuk berburu di hutan, dan mandau tidak dilepaskan dari kumpang (sarung) jika tak ada perihal yang penting atau mendesak.
Tidak ada kamus dalam masyarakat dayak agar melanggengkan budaya kekerasan dan keberingasan. Sebab Panglima Burung adalah sosok yang penyabar. Namun saat kesabaran demi kesabaran sudah habis maka dia akan turun gunung dan berubah menjadi seorang dewa syiwa.
Panglima Burung yang akan segera turun gunung dan mengumpulkan pasukannya. Dia pun menggelar sebuah ritual yang dinamakan Mangkok Merah. Ritual yang dilakukan untuk mengumpulkan prajurit Dayak. Tarian-tarian perang bersahut-sahutan, mandau melekat erat di pinggang. Mereka terhipnotis dan siap perang.
Penglima Burung sebagaimana halnya orang Dayak tetap berpegang teguh pada norma dan aturan yang mereka yakini. Antara lain tidak mengotori kesucian tempat ibadah–agama manapun–dengan merusaknya atau membunuh di dalamnya. Karena kekerasan dalam masyarakat Dayak sebenarnya hanyalah untuk MEMBELA DIRI. Pembunuhan JELAS tak boleh dilakukan, tetapi HANYA OPSI UNTUK MEMPERTAHANKAN DIRI.
KONSEP PERTAHANAN KEDUA ADALAH GOTONG ROYONG BAHU MEMBAHU, MERASA SENASIB SEPENANGGUNGAN.
MANGKOK MERAH adalah alat komunikasi mistis yang berfungsi sebagai pembawa pertanda bahwa ada sekelompok masyarakat yang membutuhkan bantuan dari seluruh masyarakat sehingga seluruh masyarakat harus bahu membahu dan bergotong royong memberikan bantuan.
Selain sebagai alat komunikasi, Mangkok Merah juga berfungsi sebagai penghubung dengan roh nenek moyang. Orang Dayak percaya bahwa melalui Mangkok Merah roh para leluhur akan membantu mereka dari serangan pihak luar.
Roh leluhur dalam adat Dayak Kanayatn (sub-etnik mayoritas di Kalbar) disebut Dewa Sakti yang terdiri atas tujuh roh bersaudara. Mereka bernama Bujakng Nyangko Samabue, Kamang Muda Santulangan, Sarukng Sampuro, Sansa Lalu Samarawe, Bujang Gila Palepak, Nyaro Nyantakng Pajamuratn dan Bensei Sampayangan. Tujuh roh leluhur ber saudara ini tinggal di tujuh tempat yang berlainan. Untuk memanggil roh-roh Dewa Sakti ini, hanya Panglima Adat yang berwenang melakukannya.
Sejumlah perangkat harus disiapkan oleh Panglima Adat sebelum upacara pemanggilan roh Dewa Sakti. Mangkok yang terbuat dari teras bambu (ada yang mengatakan terbuat dari tanah liat) yang didesain dalam bentuk bundar segera dibuat. Untuk menyertai mangkok ini disediakan juga perlengkapan lainnya seperti ubi jerangau merah (acorus calamus) yang melambangkan keberanian (ada yang mengatakan bisa diganti dengan beras kuning), bulu ayam merah untuk terbang, lampu obor dari bambu untuk suluh (ada yang mengatakan bisa diganti dengan sebatang korek api), daun rumbia (metroxylon sagus) untuk tempat berteduh dan tali simpul dari kulit kepuak sebagai lambang persatuan. Perlengkapan tadi dikemas dalam mangkok dari bambu itu dan dibungkus dengan kain merah.
Mangkok Merah dibawa Panglima ke panyugu yakni sebuah tempat yang dianggap keramat pada saat matahari terbenam. Di panyugu, Panglima meminta petunjuk roh Dewa Sakti. Roh Dewa Sakti akan menjawab dengan tanda-tada alam yang oleh Panglima akan diterjemahkan apakah Mangkok Merah sudah saatnya atau belum untuk diedarkan.
Jika Panglima turun ke kampung dengan teriakan-teriakan magis tertentu yang diteriakkan dengan suara nyaring, maka Dewa Sakti sudah mengijinkan Mangkok Merah diedarkan. Roh salah satu tujuh bersaudara Dewa Sakti tadi mempengaruhi tubuh sang Panglima dan masyarakat segera merespon. Mereka berkumpul di lapangan memegang mandau, perisai dan senjata lantak dengan kain merah terikat di kepala, siap untuk berperang.
Dalam sekejab, Panglima menularkan roh Dewa Sakti kepada prajurit. Pangarah (kurir) ditunjuk Panglima untuk mengantarkan bungkusan kain merah itu ke kampung lain. Pangarah terbang dan dalam waktu sekejab disertai teriakan ritual sampai di kampung lain.
Panglima kampung tetangga, dengan kekuatan supranaturalnya, akan mengetahui kedatangan pangarah dan menjemputnya bersama masyarakat. Pangarah mengabarkan siapa musuh yang harus dihadapi. Panglima kampung tersebut kemudian menularkan roh Dewa Sakti kepada masyarakat yang telah berkumpul.
Upacara seperti itu terus berlangsung di seluruh wilayah yang bisa dijangkau hingga dianggap cukup untuk menghadapi musuh. Jika perang dianggap selesai upacara pengembalian Roh Dewa Sakti yang disebut Nyaru Semangat akan dilakukan. Dengan sejumlah upacara adat induk roh (induk Tariu) tersebut dikembalikan ke tempat asalnya.
Mangkok Merah di kalangan suku Dayak Kanayatn juga dipercaya menambah kesaktian. Dengan ikat kepala warna merah, orang-orang Dayak yang merasa roh para leluhur itu telah berkarya di dalam tubuhnya bisa mengenali mana lawan dan kawan hanya dengan indra penciumannya.
Dampak beredarnya Mangkok Merah ini memang dasyat. Ribuan orang Dayak, laki-laki dan perempuan yang terkena pengaruh magis Mangkok Merah bergerak di bawah komando panglima perang. Para panglima perang biasanya menggunakan nama-nama alam seperti Panglima Burung, Panglima Halilintar atau Panglima Angin. Panglima perang tertua dan terkenal dari suku Dayak Kanayatn bernama Panglima Burung.
Daya magis Mangkok Merah membuat prajurit Dayak tak mempan dibacok, tahan lapar hingga sebulan dan bisa melesat cepat di dalam hutan. Hampir tiap hari, pasukan ABRI menemukan sekelompok orang Dayak di sebuah tempat yang jaraknya ratusan kilometer dari tempat asal mereka. Dengan sejumlah truk ABRI mengembalikan para prajurit Dayak yang “terdampar” di suatu tempat ke tempat asal mereka.
Mangkok Merah biasanya digunakan jika orang Dayak benar-benar terpaksa. Segala macam akibat yang akan ditimbulkan akan dipertimbangkan masak-masak karena korban jiwa dalam jumlah besar sudah pasti akan berjatuhan.
Tradisi Mangkok Merah pernah digunakan untuk menangkap tokoh komunis yang dipimpin Sofyan tahun 1967, pasukannya berhasil mengenali dan membunuh kaum komunis.
KESIMPULAN
SEBELUM BANGSA INDONESIA MENGANUT SISTEM PERTAHANAN DAN KEAMANAN RAKYAT SEMESTA, TERNYATA TRADISI BUDAYA SUKU BANGSA DAYAK TELAH MENGENALNYA SEJAK RATUSAN TAHUN SILAM. KEARIFAN INI BISA DIJADIKAN TELADAN BANGSA KITA UNTUK MEMBELA NEGARA.
BUDAYA DAYAK MENGAJARKAN AGAR NEGARA KITA TIDAK BOLEH KEHILANGAN SEMANGAT JUANG UNTUK MEMBELA TANAH AIR.
PARA PAHLAWAN KITA YANG TELAH GUGUR TIDAK AKAN SIA-SIA BILA DI DALAM DADA SETIAP WARGA NEGARA MEMILIKI SEMANGAT JUANG UNTUK MEMBANGUN BANGSA INDONESIA AGAR LEBIH BAIK DAN SEJAHTERA.
Langganan:
Postingan (Atom)