tradisional, ungkapan-ungkapan dan dongeng-dongeng tradisional (bdk. Riwut 1993; dan Riwut 2004).
Ketiadaan literatur suku Dayak Ngaju dalam upaya menapaki jejak-jejak sejarah kearifan leluhur di masa lalu, bukanlah suatu alasan untuk menyebut bahwa leluhur suku ini memiliki derajat kebudayaan yang rendah (inferior). Satu-satunya rujukan tradisional yang dimiliki hanya “Tetek Tatum” yang terbangun secara “antara nyata dan tiada” sebuah bangunan imajiner; in illo tempore, ab origine sebagai struktur antara kenyataan yang dimitoskan atau mitos yang berusaha dan “seolah-olah” dinyatakan (bandingkan Eliade 1991). “Tetek Tatum” merupakan bangunan kronologis sejarah yang mengetengahkan proses panjang manusia Dayak, di mana mulai dikenalnya konsep-konsep tentang akulturasi, konsep-konsep yang runtun memandang masuknya pengaruh eksternal yang muncul. “Tetek Tatum” atau disebut sebagai “Periode Ratapan” atau “Ratap Tangis Sejati” (Riwut 1993:75), “Zaman Ratap Tangis” (lihat pula Ugang, 1983), merupakan masa-masa krisis yang dialami manusia Dayak. Pada masa itu, berbagai bentuk upaya “invasi-antithesis” muncul. Aneka bentuk penderitaan berkepanjangan mendera. Hingga muncul pula upaya defensif atas situasi tersebut dengan hadirnya pahlawan-pahlawan gagah berani seperti Rambang, Ringkai, Tambun, Bungai dan lain-lain. Ugang menyebutnya sebagai awal pertemuan kebudayaan Dayak Ngaju dengan kebudayaan luar seperti Hindu-Buddha, Kong Hu Cu, Islam dan Kristen. Berhubung pertemuan itu berlangsung sejak berpuluh-puluh abad lamanya. Maka tidaklah mudah untuk menyimpulkan bahwa kebudayaan Dayak Ngaju itu telah berubah atau dipengaruhi oleh kebudayaan dari luar itu. Namun, yang pasti pertemuan kebudayaan tersebut telah membentuk semacam kebudayaan (baca: kepercayaan-pen) baru dengan tatanan yang saling melengkapi yang dikenal dengan Kaharingan sekarang (1983:4).
Jauh sebelum dikenalnya tuturan tentang “Tetek Tatum”, masyarakat Dayak Ngaju sudah mengenal periodisasi masa yang melingkupi kehidupan mereka dari waktu ke waktu. Ada tiga istilah yang dikemukakan Ugang di dalam struktur kehidupan yang disebut “lewu” atau negeri, “Lewun Sangiang”, “Lewun Sansana”, dan “Lewun Tetek Tatum” (1983:2). Mengapa ada tiga “lewu” dalam konsep tersebut? Pertama, ada tiga konsep yang mempunyai benang merah dengan alam dalam pandangan teologis Kristen bahwa “lewun Sangiang” merupakan representasi dari sebuah satuan imajiner tentang sebuah bangunan transedental “surga”, di mana yang hidup di sana adalah para dewa dalam perspektif Kaharingan: Maharaja Sangiang, Maharaja Sangen dan Maharaja Bunu. Kedua, ketiga fase tersebut menunjukkan bahwa ketiga “lewu” yang menjadi semacam “lansekap imajiner” manusia Dayak Ngaju menyiratkan adanya tiga periodisasi zaman yang sama sekali berbeda berdasarkan “konstruksi” dunia yang melatarinya: “zaman Sangiang” dan “zaman Sansana” sebagai penggemaan prototipe mitis in illo tempore itu, dan zaman “Tetek Tatum”. Ketiga, bahwa langkah awal pijakan “manusia baru”, manusia Dayak berada pada periodisasi zaman yang ketiga, yaitu “Tetek Tatum”, yang di dalamnya menggambarkan pertemuan manusia Dayak dengan aneka kebudayaan yang datang dari luar. Konsep kedua zaman sebelum “Tetek Tatum” merupakan konsep yang sangat sulit untuk dicocokkan dengan periodisasi waktu karena hingga kini tidak ditemukan fakta yang mendasari itu. Tetapi yang jelas adalah “zaman Tetek Tatum” berawal sebelum abad ke-17.
Konteks demikian lebih tajam dinyatakan Eliade sebagai cara untuk memahami eksistensi dan sejarah manusia dalam cakrawala ontologis dan spiritualitas kuno bahwa koleksi fakta terbagi menjadi, 1) fakta yang ditujukan kepada kita, bagi manusia kuno, realitas itu merupakan fungsi imitasi atas arketipe surga (langit); 2) fakta yang ditunjukkan kepada kita bagaimana realitas itu dianugerahkan melalui partisipasi dalam “simbolisme Pusat”: kota, kuil, rumah,menjadi nyata karena fakta tentang keberadaannya diasimilasikan dengan “pusat dunia”; 3) Akhirnya, ritual dan isyarat profan yang penting dihubungkan dengan mereka dan mematerialisasikan makna tersebut hanya karena mereka diulang secara sengaja dengan tindakan sebagaimana adanya yang diberikan oleh para dewa, pahlawan atau leluhur (1991:5—6).
Mengapa zaman “Tetek Tatum” diangkat sebagai arketipe Dayak secara historis, tentu alasan pertama seperti yang diungkapkan sebelumnya bahwa tiada langkah yang paling faktual untuk melacak sejarah itu berkaitan dengan tidak ditemui tradisi tulis pada masyarakat Dayak. Kedua, kalau demikian adanya, mengapa pula suatu kebudayaan yang berderajat rendah/inferior mampu melahirkan begitu banyak karya sastra lisan, termasuk puisi-puisi etnik di dalam kebudayaannya? Eliade menyatakan bahwa dalam perilaku sadarnya yang khas, manusia “primitif” kuno tidak menerima tindakan yang sebelumnya tidak dilakukan atau dihidupi orang lain, sesuatu yang lain yang bukan manusia. Apapun yang dia lakukan telah dilakukan sebelumnya. Hidupnya merupakan pengulangan-pengulangan atas sikap yang diawali oleh orang lain (1991:5).
Jawaban yang penting untuk pertanyaan di atas bermuara pada upaya-upaya eskavasi muatan kronologis yang terdapat dalam karya-karya sastra tersebut. Kita akan terperangah ketika mendengarkan “Sansana Bandar” atau Riwayat Bandar, Tambun, Bungai dan seterusnya. Kita sebagai manusia Dayak post-modern hanya memandang filosofi karya sastra tersebut sebagai fosil-fosil yang usang—namun keberadaannya ternyata mampu menjadi napas bagi konstelasi zaman setelahnya. Riwut mengklasifikasi paling tidak terdapat 20-an jenis karya sastra lisan lainnya. Sebagian besar belum ditransliterasi dan ditranskripsikan. Sangat disayangkan, apabila kearifan lokal dan keagungan sastra lisan Dayak itu menjadi dokumen “illiterate” yang punah ditelan zaman.
language inggriss
Traditionally, expressions and traditional tales (cf. Riwut 1993; and Riwut 2004).
The absence of literature in an attempt Dayak Ngaju treading traces the history of the ancestral wisdom of the past, not a reason to mention that the ancestors of these tribes have a low degree of culture (inferior). The only traditional referral owned only "Tatum turned out" the awakened "between real and not" an imaginary building; in illo tempore, ab origine as mythic structure between reality or myth to try and "as if" expressed (compare Eliade 1991). "It turned Tatum" is a chronological history of the building that explores the long process of the Dayak people, where began a familiar concepts of acculturation, concepts Runtun see the influence of the external appear. "It turned Tatum" or referred to as the "Period of Mourning" or "Wailing True Tears" (Riwut 1993:75), "The Age of Wailing Tears" (see also Ugang, 1983), is a time of crisis experienced by the Dayak people. At that time, many of the efforts of "invasion-antithesis" appears. Any kind of prolonged suffering whack. Up came the defensive effort of the situation with the presence of valiant heroes like Rambang, arid, Tambun, Bungai and others. Ugang refer to it as the beginning of Dayak culture Ngaju meetings with outside cultures such as Hindu-Buddhism, Confucianism, Islam and Christianity. Since the meeting was going on since decades centuries. Thus it is easy to conclude that the Dayak culture Ngaju it has been changed or influenced by the culture from the outside. However, the meeting of cultures definitely have formed a kind of culture (read: confidence-pen) with a new order known as complementary Kaharingan now (1983:4).
Long before a familiar speech about "Tatum turned out", the Dayaks are familiar periodization Ngaju period surrounding their lives from time to time. There are three terms in the structure of the proposed Ugang life called "Lewu" or the country, "Lewun Sangiang", "Lewun Sansana", and "Lewun Tetek Tatum" (1983:2). Why there are three "Lewu" in the concept? First, there are three concepts that have a common thread with nature in the Christian theological view that "lewun Sangiang" is a representation of an imaginary unit of a building transcendental "paradise", where there is a life of the gods in perspective Kaharingan: Maharaja Sangiang, Sangen and Maharaja Maharaja Bunu. Second, it shows that the third phase of the three "Lewu" which became a kind of "imaginary landscapes" Dayak man Ngaju periodization implies the existence of three different age entirely based on "construction" the underlying world: "Sangiang age" and "age Sansana" as a prototype penggemaan the mythic in illo tempore, and age "Tatum turned out". Third, that the first step footing "new man", Dayak man is at the time of the third periods, namely "Tatum turned out", in which described the meeting with the various cultures of the Dayak people who come from outside. The second concept of time before "Tetek Tatum" is a concept that is very difficult to reconcile with the periodicity of time because until now not found the facts underlying it. But what is clear is the "age Tetek Tatum" originated before the 17th century.
Thus the context otherwise sharper Eliade as a way to understand the history of human existence and the ontological horizon and ancient spirituality fact that the collection is divided into, 1) facts addressed to us, the ancient humans, the reality of it is a function of the archetype imitation of heaven (sky); 2) the fact that the reality presented to us how it was awarded through participation in the "symbolism of the center": cities, temples, houses, became apparent due to the fact of its existence assimilated with the "center of the world"; 3) Finally, ritual and profane are important cues associated with and the meanings they materialize only because they deliberately repeated the act as it is given by the gods, heroes or ancestors (1991:5-6).
Why were the "Tetek Tatum" was appointed as the archetype Dayak historically, of course the first reason as stated earlier that there is no factual measures to track the history associated with it are not found written in the tradition of the Dayak community. Second, if so, why should a low degree of culture / inferior able to bring so many works of oral literature, including poetry in the ethnic culture? Eliade states that in a typical conscious behavior, human "primitive" ancient not accept actions which previously was not done or lived someone else, something else that is not human. Whatever he does has been done before. Her life is a repetition of the attitude that begins by others (1991:5).
Important answer to the above question boils down excavation efforts chronological charge contained in the literary works. We will be amazed when listening to "Sansana Bandar" or Bandar History, Tambun, Bungai and so on. We as human beings post-modern Dayak just looked philosophical literature such as fossils obsolete-but its presence was able to breath for days afterwards constellation. Riwut classify at least there 20s other types of oral literature. Most have not been transliterated and transcribed. It is unfortunate, if the local wisdom and majesty of the Dayak oral literature to document "Illiterate" everlasting extinct.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar